MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
(Kebudayaan “PELA GANDONG” di Provinsi Maluku )
OLEH :
ARANSCA.
VANESSA. L
13007
AKADEMI TEKNIK ELEKTROMEDIK
ANDAKARA JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa.
yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar dengan judul “Kebudayaan PELA GANDONG di Provinsi Maluku” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih
kepada Bpk Deddy.N selaku Dosen
mata kuliah ISBD yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk
membuat makalah ini, sebagai pedoman, acuan, dan sumber pembelajaran.
Akhir kata, penulis sebagai penyusun menyadari bahwa masih terdapat
banyak kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang
tepat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................
Daftar isi ......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang .............................................................................
2.
Rumusan Masalah
..............................................................................
3.
Tujuan .............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pela Gandong ..................................................................
B.
Pengertian Pela Gandong ..................................................................
C.
Jenis jenis Pela Gandong.....................................................................
D.
Manfaat
membangun perdamaian melalui Pela Gandong...............
BAB III KESIMPULAN
A.
Kesimpulan ........................................................................................
B.
Saran ........................................................................................
Daftar pustaka .........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Maluku merupakan
salah satu provinsi
bahari di Indonesia karena sembilan puluh persen dari luas daerahnya merupakan
lautan. Sebagian besar masyarakat Maluku hidup sebagai nelayan. Sehingga Maluku
merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia.
Komoditi
perikanan menjadi salah satu komoditi unggulan. Dengan kekayaan laut itu maka
muncul pasar ikan sebagai tempat jual beli ikan yang selalu ramai setiap
harinya.
Persepsi
masyarakat tentang pasar ikan adalah tempat yang kotor dan bau sehingga pembeli
tidak merasa nyaman untuk berbelanja. Tanpa disadari kekayaan laut merupakan
salah satu kelebihan yang dimiliki yang seharusnya dapat dikembangkan seoptimal
mungkin. Selain itu Maluku memiliki budaya leluhur yang masih dipegang teguh
dalam masyarakatnya.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah pada makalah ini adalah.
1.
Kapan munculnya Pela Gandong di
Maluku?
2.
Apa itu Pela Gandong ?
3.
Apa saja jenis jenis Pela Gandong ?
4.
Apa manfaat dari Pela Gandong di
Maluku?
C. Tujuan.
Adapun tujuan yang di capai dalam rumusan masalah adalah:
1.
Mengetahui sejarah Pela Gandong di
Maluku.
2.
Mengetahui pengertian Pela Gandong di
Maluku
3.
Mengetahui jenis jenis Pela Gandong di
Maluku
4.
Mengetahui manfaat dari Pela Gandong di
Maluku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah pela gandong
Ada satu kebudayaan khas di tanah Maluku, khususnya di Maluku Tengah, yang
tidak dapat dijumpai di belahan bumi Indonesia lainnya. Kebudayaan tersebut
dikenal dengan sebutan pela gandong. Pela gandong ini kerap menjadi kebanggaan
masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai suatu
relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang
berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama yang berbeda, sedangkan
gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah
yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah berlangsung, campuran
soppi (tuak) dan darah yang diambil dari tubuh masing-masing pemimpin
negeri akan diminum oleh kedua pihak yang bersangkutan setelah senjata dan
alat-alat tajam lain dicelupkan ke dalamnya.
Adapun empat hal pokok yang mendasari pela yaitu: negeri-negeri yang
berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting (perang,
bencana alam). Apabila diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan
kepada negeri lain yang hendak melaksanakan proyek kepentingan umum, seperti
pembangunan sekolah, masjid, atau gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi
negeri yang berpela itu, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi
makanan kepadanya dan tamu yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk
membawa pulang hasil bumi atau buah-buahan yang menjadi kesukaannya; karena
penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah, maka dua
orang yang sepela tersebut dilarang untuk menikah.
Bagi orang-orang yang melanggar segala ketentuan tersebut, konon katanya
akan mendapatkan hukuman dari nenek moyang yang mengikrarkan pela. Sebagai
contoh, seseorang ataupun keturunannya dapat jatuh sakit atau bahkan meninggal
bila melanggar ketentuan itu. Jika ada yang melanggar pantangan untuk menikah,
maka mereka akan ditangkap untuk kemudian disuruh berjalan mengelilingi
negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa, sedangkan seluruh
penghuni negeri akan mencaci makinya.
Ada beberapa alasan mengapa pela gandong ini cukup kental di Maluku Tengah.
Dari segi antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau
besar yaitu pulau Seram dan pulau Buru, kemudian bermigrasi ke
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari pulau Seram menyebar ke
Kepulauan Lease/Uliaser(pulau Haruku, pulau Saparua, dan pulau Nusalaut) dan
pulau Ambon . Migrasi ini kemudian memberi dampak terhadap terjadinya asimilasi
kebudayaan baru(kebudayaan Seram) yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
sekitarnya yaitu kebudayaan Melanesia, Melayu, Ternate , dan Tidore.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Maluku Tengah memiliki satu
kebudayaan yang sama. Kemudian, jika ditelusuri dari segi historisnya, para
migran yang kebanyakan berdiam di pegunungan ini lantas dipindahkan ke pesisir
pantai oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka pengawasan. Bukan hanya
itu, Belanda juga mengganti nama komunitas-komunitas migran yang disebut Hena
atau Aman, dengan istilah Negeri. Struktur pemerintahan di dalam Negeri diatur
menyerupai struktur pemerintahan di Belanda. Dengan struktur pemerintahan
tersebut, maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah,
rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari marga-marga
tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri
dibagi-bagi untuk seluruh marga dalam komunitas negeri.
Dalam perkembangannya secara sosio-historis, negeri-negeri ini kemudian
mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok
masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Anak
Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani. Anak Negeri Salam adalah penduduk yang
beragama Islam dan Anak Negeri Sarani adalah penduduk yang beragama Kristen.
Laki-laki yang beragama Islam biasa dipanggil dengan sebutan ‘abang’ dan
perempuannya dipanggil “caca”, sedangkan laki-laki yang beragama Kristen
dipanggil dengan sebutan “bu” dan perempuannya dipanggil “usi”.
Kultur seperti ini memperlihatkan adanya suatu kecenderungan yang akan
mengentalkan solidaritas kelompok, tetapi pada dasarnya rentan terhadap
kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah pela gandong sebagai suatu
pola manajemen konflik tradisional guna mengatasi kerentanan konflik.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa pela gandong sebetulnya bukan
merupakan suatu kebudayaan lokal penduduk Maluku sendiri, melainkan suatu
produk hasil asimilasi kebudayaan di Maluku Tengah. Peran pemerintah kolonial
Belanda juga cukup besar dalam pengembangan pela gandong ini sehingga banyak
yang mengatakan bahwa kebudayaan ini hanyalah bentuk rekayasa mereka pada saat
ingin menguasai rempah-rempah di tanah Maluku. Hal ini cukup beralasan bila
ditelusuri lebih jauh lagi dari segi historis. Menurut sejarah awalnya, Maluku
merupakan sebuah jasirah dengan hasil alam yang berlimpah ruah dan berpenduduk
mayoritas Muslim. Pada saat Belanda menginvasi Maluku, umat Muslim di tanah ini
lantas menentang dengan keras.
Perlawanan bersenjata kemudian dilancarkan oleh raja-raja dan sultan-sultan
yang berada di Maluku, antara lain Raja Leihitu, Raja Leitimu, Sultan Ternate,
Sultan Tidore, Sultan Khairun, Sultan Baabullah, dan lain-lain. Karena adanya
perlawanan yang sengit ini, maka Belanda mulai melancarkan politik “Devide et
Impera” atau politik pecah belah. Belanda sendiri masuk ke Maluku dengan
membawa tiga misi, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Gold adalah misi Belanda
untuk mengambil seluruh kekayaan alam di Maluku, Glory untuk mendapatkan
kemuliaan di mata masyarakat di Eropa, dan Gospel membawa misi untuk
menyebarkan agama.
Misi yang terakhir ini berhasil menyebabkan masyarakat Maluku yang awalnya
mayoritas Muslim menjadi terpengaruh dan kemudian terpecah dua : Muslim dan
Kristen (Anak Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani). Karena adanya sentimen
kelompok, maka perkelahian antara Negeri Muslim dan Negeri Kristen pun kerap
terjadi. Agar dapat diterima oleh seluruh komunitas masyarakat Maluku, maka
pemerintah Belanda pun mulai mengembangkan kebudayaan pela gandong. Untuk
memperluas jajahannya, Belanda kemudian mempengaruhi masyarakat Maluku yang pro
kepadanya untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan jalan membentuk pela
gandong dengan daerah baru yang Muslim.
Namun, terlepas dari kesemuanya itu, di tengah beragamnya komunitas yang
berada di Maluku dan potensi konflik di dalamnya saat ini, tampaknya pela
gandong cukup dapat berperan sebagai peredam yang mampu meminimalisir gejolak
sosial bernuansa primordial. Sentimen antar kelompok dapat tereliminasi dengan
kearifan budaya dan kepentingan ekonomi yang substitusional sehingga konflik
sosial dapat diminimalisir.
B.
Pengertian Pela
Pela berasal
dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan
akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan,
usaha agar tidak mudah rusuh atau
pecah. sedangkan gandong sendiri bermakna
adik. Tetapi juga ada yang
menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau
menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa PELA
adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antaradua desa atau lebih
dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling
merasakan senasib penderitaan. Dalam
arti bahwa senang dirasakan bersama begitu pun susah dirasakan bersama .
Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum
darah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras
lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini
biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala
kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain.
Dalam ikatan pelaini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat
masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah
sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya
C. Jenis Jenis Pela Gandong
Pada dasaranya, terdapat tiga jenis Pela yang dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1.
Pela Keras. Timbulnya Pela ini dilatar
belakangi oleh suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting untuk melawan
peperangan atau pertumpahan darah. Atau pula berbentuk bantuan khusus dari suatu
negeri kepada negeri lain.
2.
Pela Gandong atau Bungso yang timbul
karena adanya ikatan dan hubungan keturunan, artinya diantara pemimpin/raja
satu negeri dan negeri lainnya memiliki hubungan keturunan, ataupun diantara
beberapa keluarga di satu negeri dan di negeri lain menganggap diri mereka
sebagai satu garis keturunan.
3.
Pela Tempat Sirih, timbulnya pela ini
setelah terjadinya suatu peristiwa yang kurang begitu penting, atau karena
suatu negeri berjasa terhadap negeri lain dalam hal perdagangan
maupun perdamaian.
Pela Keras dan Pela Gandong memiliki kekuatan yang sama kuat karena
perjanjian ini ditetapkan dengan sumpah disertai kutukan dahsyat yang pasti dan
akan tertimpa oleh salah satu pihak yang melanggar perjanjian tersebut.
Terkadang perjanjian/mengangkat sumpah itu dilakukan dengan cara memateraikan
dan mengambil darah dari tubuh pemimpin kedua belah fihak kemudian meminumnya.
Hubungan Pela ini dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua
masyarakat kedua negeri yang berlangsung terus-menerus dan dijunjung tinggi
sebagai suatu perjanjian suci. Adapun hal-hal asasi yang menjadi
ikatan dari perjanjian Pela ini adalah :
1.
Kewajiban setiap negeri yang ber-Pela
untuk saling membantu pada saat genting dan mendesak, misalnya; bencana alam
dan peperangan.
2.
Jika diminta bantuan demi kepentingan
kesejahteraan umum, maka negeri yang menjadi Pela wajib memberi bantuan kepada
negeri yang membutuhkan, misalnya; pembangunan rumah, sekolah dan tempat-tempat
beribadah.
3.
Apabila seseorang dari negeri Pela
berkunjung, maka negeri yang menjadi Pela harus melayani dan memberi makan
kepadanya dan ia tidak perlu untuk meminta izin membawa pulang makanan dan
buah-buahan.
4.
Semua penduduk negeri yang berhubungan
Pela itu dianggap sedarah sehingga tidak diperbolehkan untuk kawin, kecuali
pada Pela Tempat Sirih.
System Pela ini masih berlaku di beberapa daerah/negeri di Maluku karena
rasa persatuan dan identitas bersama yang disadari dan dihayati serta
diwariskan secara turun-temurun sebagai suatu perjanjian suci yang harus terus
dilestarikan dalam menciptakan perdamaian di Maluku. Berkat system Pela ini,
pertentangan maupun konflik antar agama semakin dapat diminimalkan.
Sejarah telah mencatat bahwa sebelum konflik agama yang terjadi di Maluku
beberapa tahun silam, kerukunan antara umat beragama sangatlah kental, terlihat
dari banyaknya pembangunan mesjid, gereja dan sekolah dibangun karena mendapat
bantuan dari negeri Pela, baik berupa bantuan tenaga kerja, bahan bangunan,
uang ataupun makanan bagi pekerja sehingga pembangunan itu dapat berjalan
dengan baik tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Dan pada saat konflik
terjadi, negeri-negeri yang ber-Pela seperti; negeri Siri-Sori Islam dan negeri
Haria atau antara negeri Laha dan negeri Amahusu tidak menganggapnya sebagai
suatu konflik dan tidak akan melanggar perjanjian para leluhur.
Untuk tetap menjaga dan menciptakan perdamaian di Maluku, maka budaya
Pela-Gandong ini senantiasa dilestarikan dengan cara menyadarkan dan
menghidupkannya kembali melalui generasi muda melalui bantuan dari orang tua
maupun pemerintah daerah untuk mendukung dan merespon segala kegiatan maupun
upacara-upacara adat diantara Pela-gandong yang ada di negeri seribu pulau ini.
D. Manfaat membangun perdamaian melalui Pela Gandong
Julukan Seribu Pulau yang disandang oleh Maluku adalah suatu kepatutan,
selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan
beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun
sub-suku yang ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik
masyarakat yang multi cultural, tetapi pada dasarnya mempunyai
kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai modal dasar kebersamaan dan persaudaraan
dalam menciptakan perdamaian di Maluku, diantaranya adalah Pela-Gandong.
Pela merupakan suatu relasi perjanjian antara satu negeri dengan negeri
lain baik yang terjalin antara negeri-negeri sedaratan dan berlainan pulau,
juga antara etnis dan agama yang berbeda. Hubungan Pela ini mempunyai efek yang
sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan
menjaga hubungan tersebut.
Sebagai suatu system hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini
telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini
kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat
pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis
dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan
penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19,
dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbicara
masalah ragam seni budaya Indonesia pasti tidak akan pernah ada
habisnya. Mengingat begitu banyaknya ragam seni budaya yang terdapat mulai dari Sabang sampai
Merauke. Pulau-pulau di Indonesia dengan berbagai macam suku bangsa
yang semuanya memiliki ragam seni budaya masing-masing. Tapi semua terangkum menjadi satu yaitu
sebuah ragam seni budaya yang ber- “BHINEKA TUNGGAL IKA” dengan
menunjukkan adat ketimuran dan berazaskan Pancasila.
Jadi
tidak mustahil jika banyak hasil cipta rasa dan karya dalam berbagai adat
dan ragam seni budaya yang dimiliki bangsa Indonesia ini selalu
dilirik oleh bangsa lain.
B. Saran
Kaya akan ragam seni budaya sudah semestinya Indonesia berbangga,
maka sudah selayaknya bagi bangsa dan masyarakat negeri ini untuk melestarikan
dan menjaga ragam seni budaya yang ada di Indonesia ini. Karena kalau
bukan kita sendiri, siapa lagi...?
DAFTAR PUSTAKA
2. http://www.google.com, Pela gandong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar